Proyek pemancar jaringan internet Project Loon dikabarkan telah dihentikan oleh Alphabet, perusahaan induk milik Google dalam beberapa bulan ke depan.
Sebelumnya, Project Loon yang didirikan pada 2011 bertujuan untuk menyediakan akses intenet yang lebih murah daripada menara seluler. Cara semacam ini dianggap menghemat pengeluaran bagi negara-negara berkembang.
Cara kerjanya Project Loon dengan menggunakan balon udara seukuran lapangan tenis yang membawa peralatan jaringan bertenaga surya, dan mengorbit di ketinggian tertentu hingga kemudian memancarkan akses internet.
Proyek ambisius yang dikembangkan oleh Google
Project Loon dikembangkan di Google X, sebuah laboratorium rahasia milik Google oleh tim yang juga bekerja untuk pengembangan dan penelitian Google Glasses dan mobil tanpa pengemudi.
Proyek ini bertujuan untuk membawa jaringan internet dengan menggunakan balon udara ke wilayah tertentu di pelosok dunia. Terutama pada wilayah yang dinilai bakal membutuhkan biaya besar jika membangun menara seluler di sana.
Sasaran utamanya adalah negara-negara berkembang yang tidak mampu menanggung tingginya biaya dari pemasangan kabel fiber untuk mengakses internet, seperti di wilayah Afrika dan Asia Tenggara.
Pihak Project Loon mengatakan, bahwa balon udara tersebut dapat memancarkan jaringan internet ke area seluas sekitar 780 mil persegi - dua kali luas Kota New York, jika berjalan dengan baik.
Cara kerja Project Loon
Project Loon yang dikembangkan oleh Google bisa diibaratkan sebagai "BTS udara" karena menjadi pemancar jaringan internet. Saat berada di ketinggian, balon udara yang ditenagai dengan panel surya mampu bertahan selama 100 hari di lapisan stratosfer.
Google mengklaim dalam blog resminya pada 2013 lalu bahwa balon udara yang digunakan pada Project Loon mampu memberikan koneksi internet dengan kecepatan transfer data setara 3G.
Soal keamanan lalu lintas penerbangan, balon udara yang digunakan sebagai pemancar internet diterbangkan jauh di lapisan stratosfer. Di mana ketinggian tersebut berada dua kali di atas jalur pesawat terbang komersial.
Selain itu, penempatan balon udara di stratosfer juga dinilai masih rendah dari jalur orbit satelit. Aplikasi Flightradar sempat melacak aktivitas balon udara Project Loon pada 2015 dan 2025 yang melintasi berbagai wilayah di Indonesia.
Project Loon di Indonesia
Di Indonesia, Indosat Ooredo dikabarkan berdiskusi dengan pihak Google terkait dengan Project Loon. Sebagai perusahaan layanan seluler, pembicaraan tersebut juga terkait dengan wacana penyediaan koneksi internet di wilayah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal).
Tak hanya pihak Indosat Ooredo, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Plate juga menyinggung penggunaan teknologi Loon untuk akses internet yang ditempatkan di atmosfer, sehingga bisa menjangkau wilayah lebih luas, yang dikutip dari Kompas (23/01/21).
Sayang, ada regulasi pengunaan frekuensi di Indonesia menjadi hambatan bagi Project Loon sehingga masih urung terealisasi. Pada saat itu, pihak Google meminta izin menggunakan frekuensi 900 Mhz dan 700 Mhz untuk uji coba, namun tidak diizinkan.
Aturan tersebut tertuang pada Peraturan Pemerintah (PP) nomor 52 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, dan PP nomor 53 tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit.
Batal mengudara di Indonesia dan proyek yang akan segera ditutup
Project Loon gagal mengudara di Indonesia karena tersandung aturan soal perizinan penggunaan spektrum frekuensi radio yang tidak dikabulkan oleh pemerintah. Padalah, jalur frekuensi tersebut sangat diperlukan agar proyek tersebut berjalan dengan baik.
Nantinya, balon udara akan tersambung dengan internet service provider (ISP) di darat guna memancarkan internet lewat frekuensi tertentu. Kemudian, sinyal akan diteruskan pada balon-balon lainnya yang sama-sama mengudara dalam jangkauan tertentu.
Indonesia menjadi salah satu target uji coba Project Loon lantaran memiliki beberapa wilayah dengan letak geografis yang sulit dijangkau oleh menara BTS. Daerah tersebut lazim disebut sebagai wilayah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal).
Meski Project Loon dijanjikan akan hadir di Indonesia oleh Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) periode 2014-2019, Rudiantara, hal tersebut nyatanya tak kunjung terealisasi hingga proyek tersebut akhirnya ditutup oleh Alphabet, induk dari Google.
Project Loon yang dianggap tidak layak secara komersial
Alphabet sebagai inisiator lewat Google sedianya berharap agar Project Loon nantinya dapat menempatkan ribuan balon di stratosfer. Sayang, upaya tersebut di kemudian hari dinilai tidak lagi layak secara komersial oleh petinggi perusahaan.
Alphabet sendiri belum mengungkapkan berapa banyak biaya yang telah dihabiskan untuk Project Loon, meskipun pihaknya telah mendapatkan kucuran dana sebesar 125 juta dolar AS dari HAPSMobile SoftBank pada tahun 2019.
Dilansir dari Dailymail (23/01/21), dana 125 juta dolar AS yang diberikan untuk proyek telah habis dan perusahaan dilaporkan berjuang untuk mengumpulkan dana tambahan sejak saat itu.
CEO Loon Alastair Westgarth dalam sebuah posting blog mengungkapkan, pihaknya belum menemukan cara mendapatkan biaya yang cukup rendah untuk membangun bisnis berkelanjutan dalam jangka panjang, meski telah menemukan sejumlah mitra yang berminat.
Akhir dari Poject Loon
Project Loon akhirnya benar-benar dihentikan oleh pihak Alphabet setelah dianggap tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Keputusan ini dinilai mengejutkan sebab Pihak Loon sempat mendapatkan persetujuan dari pemerintah Kenya untuk berkolaborasi.
Padahal, persetujuan tersebut bakal menjadi peluncuran balon udara milik Loon pertama di Kenya untuk menyediakan layanan konektivitas jaringan internet komersial. Apa daya, Alphabet sudah final dengan keputusannya menghentikan Project Loon.
Project Loon sendiri mempekerjakan 200 orang pada 2019, dan bisa membagikan teknologinya dengan operator, pemerintah, atau grup nirlaba yang bertujuan untuk menghadirkan internet berkecepatan tinggi ke beberapa wilayah di dunia.
"Tim Loon bangga telah menjadi katalisator ekosistem organisasi yang bekerja menyediakan konektivitas dari stratosfer. Kami berharap beberapa teknologi Loon akan terus hidup untuk mendukung inovator generasi berikutnya." kata Westgarth.